Monday 22 December 2014

Setipis Kata, Sebesit Rasa.

Terlalu banyak hal yang telah dilalui. Terlalu banyak cerita yang tersimpan. Terlalu banyak pikiran yang terlintas. Dan terlalu banyak hal yang tidak mungkin diungkapkan secara gamblang.
Bukan, bukan aku tidak menulis selama ini. Draft satu folderpun penuh dengan berbagai file tulisan. Tapi aku lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Membacanya berulang kali. Dan kemudian hanya berujung meratapi layar putih dalam laptopku .
Malam ini (walaupun ku memulainya pukul tiga dini hari dan masih belum tahu akan selesai pukul berapa) aku kembali. Bukan untuk berbagi semua yang ku lalui. Air mata, tawa, sedih, bahagia, beberapa hal cukup aku simpan dalam memoriku sendiri (mungkin dengan beberapa orang yang terlibat di dalamnya). Malam ini, akan ku mulai mengenai perasaanku. Mengenai Dia yang selalu menjadi subjek dalam cerita. Dan mengenai Dia yang pernah menjadi subjek dalam masa laluku.
Sedikit cerita, subjek Dia yang biasanya menjadi topik dalam tulisanku, (semoga benar) telah ku relakan. Aku tidak menyesali air mataku yang telah keluar kali itu. Dua kali dalam satu hari dengan interval waktu tidak berbeda jauh. Hari itu akhirnya aku meluapkan air mata untuknya pertama kali. Dan untuk terakhir kali aku mengucap namanya dalam doa. Bukan berarti ia berhenti menghantuiku. Tak jarang, bahkan hampir tak pernah ia absen dalam mimpiku hingga kemarin malam.
Kemudian subjek kedua yang pernah ku sebutkan dalam cerita. Dia yang menyumbangkan sebagian (mungkin cukup banyak dalam kurun waktu hampir tiga tahun) memori tentang masa lalu. Beberapa kali ku sempatkan untuk menengok tautan internet yang dapat memunculkan info tentangmu. Dan aku tahu kini kau sedang bahagia dengannya. Namamu tak lupa ku sebut dalam doa, semoga (setidaknya kini) kau terus berbahagia.
Pelajaran hidup ku dapakan secara sederhana. Dari sebuah buku yang pernah ia tunjukkan kepadaku, yang sebelumnya telah aku ketahui namun belum sempat diriku untuk membacanya. Hingga akhirnya kesempatan itu muncul.  
Mengutip dari novel itu;
Dalam kasus tertentu cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Lepaskanlah, apabila ia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan.Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, dia bukan cinta sejatimu.
Tidak mengapa patah hati, ataupun kecewa karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Cinta yang baik selalu mengajari untuk menjaga diri. Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri. Sibukkan dengan belajar. Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya.
Selain itu, biarkan waktu mengobati seluruh kesedihan. Ketika kita tidak tahu mau melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah. Maka itulah saatnya membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi selembar kesedihan. Minggu demi minggu akan melepas sepapan demi sepapan kegelisahan. Bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati.”
Aku rasa semua orangpun pasti akan tersadar. Semua orang pasti akan tahu. Namun tidak semua orang berani mengimplementasikan itu dalam hidupnya. Atau mungkin bingung bagaimana caranya. Sering kita dengar “sebuah kata mudah dikatakan namun sulit dilakukan”, dan saya mengakui itu. Namun untukku, kuncinya ialah kemauan, keberanian, dan harapan baru.
 Jika ingin dirunut satu persatu unsur dari kalimat kutipan panjang itu, banyak hal penting yang bisa kita ketahui di dalamnya. Bukan berarti kalimat itulah yang mutlak benar adanya. Pun dalam kalimat itu, memberi celah kepada kita. “Dalam kasus tertentu”. Bukankan itu bisa menggambarkan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang kasuistis. Dan dalam kasusku, yang telah digariskan oleh-Nya, terasa cocok dengan hal itu. Tapi tidak menutup untuk hal lain yang mungkin dimiliki oleh masing-masing pribadi.
Setidaknya, hingga malam ini aku dapat mengambil kesimpulan. Tuhan tidak mempertemukan kita tanpa merencanakan sesuatu. Aku belajar banyak darimu, bahkan dari diam mu. Tapi hingga sekarang mungkin sekedar untuk itu. Terima kasih :)

Friday 24 October 2014

Tentang Rasa

Kontradiktif.
Satu kata dapat menjelaskan keseluruhan tulisanku ini.

18 Oktober 2014
Dini hari pukul (00.58), aku duduk di sebuah kamar bercahaya redup, di sebuah ruangan dengan setumpuk pikiran yang tidak bisa dilupakan begitu saja dari ingatanku. Bisakah kau menebaknya? Ya, salah satunya adalah pikiran tentangmu.
Beberapa minggu, bahkan bulan yang lalu, kamu memang salah satu topik favorite yang selalu berputar dalam pikiranku. Dan hal itu masih sama, hingga beberapa hari terakhir ini. Kamu, seseorang yang aku “entah disebut rasa apa itu”, yang mungkin telah tau bahwa ku memiliki rasa itu. Malam ini, ceritaku (lagi-lagi) mengenai dirimu. Bahagia? Tunggu dulu.
Sebelum ku bercerita, aku ingin memberitahu sesuatu. Mungkin nantinya saat terakhir kamu membaca, kamu akan memiliki kesimpulan bahwa tulisan manis yang ku tuangkan sebelum-sebelumnya adalah hanya bualan semata. Namun kamupun pasti tahu, ketika rasa telah memainkan perannya, kita semua tidak bisa berbuat apa-apa.
Menyerah, bukanlah kata yang tepat untuk mengawali cerita ini, dan juga tidaklah tepat untuk menjadi sebuah akhir. Aku memilih untuk tidak menggunakan kata itu.
.............

23 Oktober 2014
Angka di ujung laptopku menunjukkan pukul 23.27. Aku masih terduduk di sini entah bertanya pada diriku sendiri untuk meyakinkan perasaanku. 5 (lima) hari dan tulisan ini masih juga belum selesai dan mungkin masih akan terus berlanjut. Aku masih meyakinkan perasaanku. Entah mungkin ini caraku mengambil sikap. Aku tidak mau gegabah dalam memutuskannya. Namun aku semakin menemui titik terang itu. Yang (mungkin) itu bukan tentang kamu. Sekali lagi, aku masih ragu.
Rasa itu tiba-tiba menghilang, entah kemana. Mungkin karena aku terlalu sibuk mengagumimu. Rasa kagum, mungkinkah itu? Rasa itu tak lagi sama ketika aku berbicara denganmu. Rasa itu tak lagi sama ketika ku berdua denganmu. Rasa itu tak lagi sama ketika ku berusaha mencari sesuatu dalam dirimu. Ya bila kau menyadari, aku sering menatap matamu, hanya untuk mencari rasa itu.
Salah satu faktor lainnya mungkin karena perubahan sikapmu. Entah mengapa aku merasa akhir-akhir ini kamu berbeda, setidaknya sikapmu padaku. Kamu harus mengakuinya, karena itu sangat terlihat jelas olehku.
Ohiya, ku ingin berbagi denganmu tentang ceritaku hari ini. Mungkin ini terdengar sedih atau mungkin terdengar lucu, kamu bebas untuk menentukannya. Kamu bebas melakukan apa saja. Ketika ku berbicara mengenai dirimu dengan beberapa teman dekatku, aku menanyakan bagaimana ketika mereka melihat “kita”. Mereka bilang, dahulu kita tidak terlihat seperti ada apa-apa (dan mungkin memang tidak ada apa-apa hingga sekarang). Namun kemudian mereka melanjutkan......bahwa akhir-akhir ini mereka melihat chemistry diantara kita.
Chemistry? How come?
Disaat aku sudah mulai mempertanyakan rasa yang aku simpan padamu.
.............

Sunday 19 October 2014

Kejutan.

Tetes air itu kembali membasahi. Untuk kali pertama setelah sekian lama ia tidak pernah hadir. Akhirnya menetes menghiasi sunyinya malam yang ku rasakan.
Hanya dengan satu lontaran pertanyaan, pun yang berasal dari diriku, membuat malam ini mendadak menjadi kelabu. Setidaknya untukku.
Aku tak mengerti, rasa egoisku malam ini muncul secara tiba-tiba. Mungkin karena aku mulai meredam hal itu sedari lama. Tapi malam ini berbeda, dan aku tidak ingin menutupinya.
Satu kenyataan yang ketika ku tahu entah mengapa terasa.....akupun tak tahu bagaimana ku bisa mendeskripsikannya. Hal ini tentang kamu, yang berasal dari masa lalu. Dan aku yang selalu mencoba mencari tahu. Aku tahu malam ini salah bila ku membandingkan kehidupanku yang dulu dan apa yang sedang ku jalani. Awalnya ku berpikir apakah memang berbeda, karena kamu salah satu pemeran utama yang sungguh terlibat didalamnya (dulu), sekarang (dan sejak dulu) telah terpisahkan. Mungkin dulu kita dipisahkah hanya oleh jarak. Hanya? Mungkin juga tidak dapat dikatakan sebagai hanya. Ya jarak. Jarak yang sangat jauh, 5.861 km. Namun sekarang kita juga dipisahkan oleh kenyataan. Dipisahkan oleh keharusan. Dan pikiran itu tetiba muncul, aku merasa, ya hanya perasaanku, hidupku sangatlah berbeda dan mungkin aku masih belum bisa menyesuaikannya. Hingga akhirnya ku putuskan, setelah tepat satu bulan sejak terakhir aku mendapat pesanmu yang sungguh menyakitkan, untuk mencari tahu tentang dirimu lagi. Kemudian aku menemukan sebuah kenyataan bahwa mungkin kamu telah bahagia. Tapi bukan seperti yang dulu kita rancang sedemikian rupa. Melainkan kebahagian yang mungkin telah kau rancang baru dengan orang yang berbeda.
Egois? YA. Aku mengakui hal itu. Disini aku juga memiliki perasaan dengan seseorang yang entah ku tak tahu bagaimana perasaannya. Dan aku yakin yang aku rasakan bukan hanya sekedar rasa biasa. Tapi, malam ini, setelah ku mengetahui kenyataan itu, diriku mencari-cari dimana rasa yang pernah ada untukmu. Aku yang mencari rasa pahit itu. Ketika pikiran tidak langsung memberikan respon terhadap perasaanku. Akulah yang mencari-cari perasaan itu. Bodoh? Ya. Karena aku merasa memang seharusnya ada rasa sakit diantara rasa-rasa baru yang sudah timbul. Setidaknya rasa kecewa dalam diriku. Dan aku menemukannya.  
Kamu, kisah indah selama tiga tahun lalu yang sempat hadir dalam kehidupanku, berhasil membuatku mengeluarkan rasa egoisku untuk malam ini. Kamu berhasil membuatku memembasahi sekitar pelupuk mataku. Kamu berhasil membuatku teringat kembali.
Bukan, cerita ini bukan tentang kita lagi. Cerita ini hanya tentangku, tentang keegoisanku. Tapi, aku bersyukur, perasannku tidak lagi seperti dulu. Sehingga, aku harus mencari-cari terlebih dahulu dimana rasa sakit itu. 

The past can't hurt you anymore, not unless you let it.” 
Alan Moore, V for Vendetta

Teruntuk dirimu yang hanya menjadi subjek ketiga pada ceritaku malam ini, inilah aku dan masa laluku. Kamupun pasti mengerti karena kamu juga mempunyai masa lalu. Dan malam ini, melalui ceritaku, kamu bisa melihat sisi lain dari diriku. Mungkin ini akan membuatmu bertambah ragu.
Untukmu yang akhir-akhir ini menghiasi pikiranku, aku tahu kau masih memasang benteng itu. 
Ku masih menunggu. 

Saturday 18 October 2014

Teruntuk Bahagia, yang (lagi-lagi) Tentang Dirinya

Teruntuk Bahagia,
Terima kasih kau telah memberiku kesempatan, untuk dapat merasakan rasamu. Terima kasih kau telah memberiku bayangan indah, dalam kenanganku. Terima kasih, walau tak jarang kau bekerjasama menciptakan rasa bersama saudaramu (yang selalu tak bahagia). Dan terima kasih untuk sempat, masih, dan semoga terus akan hadir di hidupku.
Aku ingin bercerita padamu, yang mungkin kamupun telah tahu. Ya, disini kamu menjadi salah satu rasa yang diciptakan dari apa yang aku alami. Entah bagaimana prosesnya, yang pasti disini, aku tahu, itu merupakan rasa bahagia.
Dirinya, ya dia, seseorang yang tidak sempurna yang bisa membuatku merasakan rasamu. Dirinya begitu sederhana, tapi entah mengapa berbeda di mataku. Dirinya, yang dengan hal kecil, bisa membuat senyumku terangkat dan perasaanku menjadi tak menentu. Bahagia, dirinya sangat berharga untukku.
Bahagia, rasamu sudah lama timbul dalam diriku sejak awal aku bertemu dengan dirinya. Rasamu lalu semakin tak menentu, saat ku mengalami sesuatu hal baru dengannya. Rasamu kemudian menjadi menggebu, ketika ku semakin dekat dengan dirinya. Salahkah ketika ku sekarang mempertanyakan, apakah kamu sedang bekerjasama dengan rasa lainnya untuk memformulasikan apa yang ku rasa? Lama pertanyaan itu terpendam dalam benakku. Hingga akhirnya aku membuat kesimpulan, bahwa kau sedang bersandingan dengan rasa sayang dalam menciptakan rasa untukku.
Aku mungkin sempat meragukan hipotesa ku. Tak jarang aku ingin menyudahi pikiranku tentang rasamu dan rasa itu. Dirinya tak melulu meyakinkanku, haruskah ku bertahan, atau melepaskan segala rasaku. Sering pula ku menanyakan pada diriku, apakah aku yang membuatnya menjadi ragu.
Bahagia, dapatkah aku meminta padamu untuk tetap melibatkan dirinya dalam rasa yang kau ciptakan untukku? Aku tahu mungkin terdengar sangat egois, ketika disinipun aku tak tahu apa yang dia rasakan. Bahkan ketika aku pun juga tak tahu, bagaimana posisiku bagi dirinya yang mungkin tak begitu berarti dibandingkan dengan dirinya bagi diriku. Namun disini ku mengira, tak ada salahnya bila ku meminta. Walaupun nantinya, kenyataan mungkin akan berbeda.
Bahagia, ku masih menunggu bahagia-bahagia mu, yang semoga tentang dirinya.

*created on September 30th 

Sunday 28 September 2014

Detik Terakhir

Aku ingin berbagi mengenai hari ini. Mungkin beberapa post terakhirku membahas mengenai bahagia, karna itu memang apa yang sedang aku rasakan. Tulisan ini adalah tulisan pertama yang ku tulis di blog ini dalam sebuah narasi. Karena biasanya aku hanya bermain dengan sajak. Tapi keseluruhan, biasanya berisi apa yang ingin ku ungkapkan.
Hari ini, Sabtu yang mungkin terindah dalam beberapa bulan terakhir. Sebegitu indahnya sampai aku bingung darimana aku harus mulai bercerita. Tapi rasanya aku ingin sekali berbagi.
Pada detik-detik terakhir hari ini (23.53), aku hanya punya waktu tujuh menit untuk menceritakan semuanya dalam sebuah narasi. Percaya tidak percaya, aku menuliskan ini dengan pacuan detak jantung yang cukup cepat. Entah karena ini detik-detik terakhir, atau karena aku teringat mengenai hari ini.
Hari ini sangat indah, untukku. Hari sederhanaku bersama kamu, ya kamu, kamu pasti tau kamulah yang aku maksud pada narasi ini. Aku tak bisa menjabarkan keseluruhan, karena rasanya aku ingin berbagi namun aku ingin tetap menyimpannya sendiri. 
(23.57) Detik pun semakin berjalan cepat. Aku hanya ingin berterimakasih untuk mu. Aku cukup bahagia. Mungkin sangat bahagia hari ini. Tawa, canda, dan apa yang kita lakukan hari ini masih terngiang olehku. Bahkan walau hanya hampir setengah hari aku bersamamu (waktu terlama kita bersama), sekarang aku merasa rindu. Post ini memang sangat menjabarkan bagaimana perasaanku. Perasaanku yang ku pendam sejak dulu. Aku tidak peduli apabila kamu akan melihat post ini nanti. Dan akhirnya, kamupun mengetahui. 
(23.59) Walaupun mungkin disini hanya aku yang merasakannya, namun aku tak ragu untuk tetap menyimpan rasa.

Saturday 27 September 2014

Helaan Kebahagian

Aku percaya kebahagiaan dapat diperoleh dengan cara sederhana,
dan aku percaya suatu hal kecil dapat membuat bahagia.
bahkan bahagia dapat timbul hanya dari ucapan kata.
ya malam itu aku mendapat jawabannya.
Seolah lepas dari beban yang menggangguku.
mengenai masa lalumu yang bukan menjadi milikku.
dan aku tahu kamu-pun pasti menyadarinya.
ketika aku menghela napas panjang melepas segala yang ada.
sekarang, ketika kita berjalan berdua, 
seolah tak ada beda.
aku dan kamu, mungkin tidak akan secepat itu menjadi kita.
aku dan kamu, mungkin akan terus berjalan sambil menerka. 
aku dan kamu, mungkin hanya dapat berdoa untuk segalanya.
namun kembali aku tegaskan,
penantianku takkan berhenti hanya sampai disini,
dengan harapan tembok ketidakmungkinan itu akan perlahan hancur menjadi reruntuhan.
dan membukakan jalan untuk bahagiaku kemudian.
untuk sekarang,
untuk saat ini,
aku sudah cukup bahagia.

Wednesday 17 September 2014

Rindu

Ketika rasa itu mulai menggebu,
berpacu dan berpacu hanya karena sebuah lantunan lagu.
Untaian memori yang kemudian seolah diputar,
membuat kita sesaat tak sadar.
Terbayang, terkenang.
Hal manis nan indah dahulu, yang (sempat) membuat kita bersatu.
Juga kenangan pedih itu, yang akhirnya membuat kita memilih jalan untuk memberhentikan pelayaran. 
Entah kapan kita dapat bertemu, entah masihkah nanti akan ada rasa rindu.
Ataukah hanya menyisakan beku.
Satu yang pasti untuk saat ini, 
Saya Rindu.